Jangan Ada Dusta Diantara Kita

Posted by FONDA AUGUST at 11:25 PM

Sunday, August 31, 2008

Corporate vs Jurnalis

Kapan hari seorang kenalan sedang dilanda masalah. Dikategorikan biasa, karena kerap menimpa profesi jurnalis. Dibilang serius, ya memang serius karena harus mengklirkan persoalan itu hingga di meja persidangan. Hendro D Laksono yang biasa saya dan kawan-kawan panggil Kang Jo, harus berhadapan dengan tim Suara Surabaya Media di kantor Disnaker Jatim.

Berikut petikan kasusnya yang sempat dirilis AJII, Hendro dituduh membuah lembaga baru yang "bertabrakan" dengan M-COMM. Usaha yang disebut-sebut bahwa Hendro terlibat, sudah berdiri pada tahun 2002 (akta notaris). Empat tahun sebelum M-COMM berdiri.

Jadi, ia merasa tidak melakukan pelanggaran apapun. Apalagi, sejak masuk bulan Juli atau Agustus tahun 2002 hingga sekarang, atribut yang dibebankan padanya adalah Chief Editor Majalah Mossaik, bukan manajer M-COMM. Core bisnis Majalah Mossaik dan M-COMM sangat berbeda.

Sejak tahun 2006 hingga sekarang, tidak ada penjelasan, legalisasi status, dan updating jabatan struktural, fungsi, dan job disc Hendro. "Jadi kalau boleh saya bilang, M-COMM sebenarnya tidak pernah ada!" katanya. Mulai 19 Juli 2008 hingga 18 Agustus 2008, Hendro D. Laksono diskorsing sembari menunggu sanksi dari perusahaan atas "pelangaran" yang dituduhkan kepadanya.

“Ini persidangan yang sulit. Mungkin saya kalah, saya berpikir realistis saja. Tapi saya tetap akan melawan,” katanya setelah persidangan. AJII dan LBH Surabaya diajaklah koalisi untuk melawan corporate lamanya.

Isi Hati Tentang Kebenaran

Meski tidak dari awal, Mencermati kasus Kang Jo, cukup menarik. Apalagi penulis, juga bekerja di lingkaran bidang yang sama. Dia di penerbitan, saya di broadcast. Sama-sama media massa.

Mendengar kasus Kang Jo, sontak teringat dengan cerita seseorang yang pernah saya kenal. Namanya Ade fitria novita . Tapi orang-orang Gramedia Majalah biasa memanggilnya Echi. Dia kini menjabat Redaktur Pelaksana mingguan Soccer, tabloid sepak bola keluaran raksasa media, Kompas Gramedia Grup.

Begini ceritanya, Dua tahun lalu, sekitar tahun 2006, ia tersandung masalah dengan perusahaan. Pasalnya, sang Redpel mau menikah dengan reporternya. Namun, jalan itu kian terjal karena tidak mendapat restu sang Pemred, yang usut punya usut menaruh hati pada sang Redpel.

Mbulet memang. Gramedia tidak mengehendaki pasang suami istri bekerja dalam ‘lingkaran’ yang sama. Salah satunya masih diperbolehkan bekerja di divisi lain yang masih satu grup. Proses pengajuan kepada corporate pun sudah dilakukan Arsa, reporter yang akan menikahi Redpelnya itu. Namun apa lacur, upaya yang sudah ditempuhnya dengan susah payah dan berbagai cara membuahkan hasil buruk. Berikut tulisan Arsa yang dirilis Gramedia Majalah Undercover, pada 24 April 2007.

Telah setahun lebih kasus kami berjalan. Dimulai ketika saya memohon pemindahan tugas ke PSDM pada Januari tahun lalu. Proses yang aneh dan berliku-liku. Kini, semua sudah berakhir. Setelah negosiasi, akhirnya saya dan perusahaan mencapai kesepakatan. Saya mengundurkan diri dari Tabloid Soccer.

Ketika akan menandatangani nota perdamaian, sempat terbersit keraguan di benak saya. Benarkah langkah yang saya ambil ini? Apakah dengan melakukannya saya mengkhianati kebenaran? Mengkhianati kawan-kawan FKGM yang selama ini seperjuangan, rekan-rekan AJI dan LBH Pers yang senantiasa mendampingi saya meyakini kebenaran yang saya perjuangkan? Alangkah malunya saya bila memang seperti itu.

Istri saya, rekan-rekan AJI dan LBH Pers meyakini saya bahwa tidak ada pengkhianatan di sini. Dan, saya teringat pada ucapan Abraham Lincoln. “Kita tidak bisa memenangi semua yang kita perjuangkan. Mengalahlah pada beberapa yang tidak prinsipil, dan renggutlah kemenangan pada hal prinsipil.”

Pada akhirnya, saya bersedia mundur dengan beberapa syarat. Saya tidak bisa menyebutkan di sini syarat-syarat yang akhirnya disanggupi pihak corporate itu. Namun, sebagai gambaran, jika nanti mereka benar-benar memegang kata-kata mereka, tidak cedera janji dalam memenuhi syarat-syarat saya, mudah-mudahan Gramedia Majalah, terutama Tabloid Soccer akan menjadi lebih baik. Proses memanusiakan karyawan lebih mengemuka. Dan, profesionalisme lebih diutamakan.

Untuk urusan uang, sejak awal saya sudah mengatakan kepada mereka bahwa itu bukanlah hal prinsipil bagi saya. Tidak ada proses negosiasi untuk masalah uang. Kecuali saya meminta pemotongan bunga utang BRI karena saya menganggap jika harus membayar sekaligus, sudah menjadi konsekuensi logis jika bunga ke depan (yang masih ada 22 bulan lagi) tidak perlu saya bayarkan.

Jadi, begitulah akhirnya. Kiprah saya di Tabloid Soccer akan selesai pada akhir bulan ini. Saya akan meninggalkan pekerjaan saya tanpa rasa sedih. Tanpa khawatir periuk nasi keluarga yang saya bangun akan terganggu.

Alasannya adalah karena Tuhan Maha Adil. Dia Mendengar. Dengan segera, Dia menunjukkan kuasa-Nya. Mendatangkan rezeki kepada kami. Saya mendapatkan pekerjaan baru. Yang tidak saja saya anggap sesuai dengan idealisme saya, juga mendatangkan penghasilan yang jauh lebih besar daripada yang saya dapat selama ini. Dua kali lipat dari take home pay saya saat ini.

Toh, dihadapkan pada karunia ini, pikiran nakal saya masih saja menyeruak. Yang kadang membuat saya tersenyum sendiri. Bagaimana tidak. Selama ini, di Gramedia Majalah, saya dianggap sebagai pesakitan. Saya adalah orang yang oleh Gramedia Majalah ditolak di mana-mana dengan alasan tidak memenuhi kualifikasi. Unit-unit enggan menerima saya (kata PSDM Majalah) karena kriteria saya tidak memenuhi syarat mereka. Saya sempat terusik. Sebegitu burukkah saya? Sebegitu tidak becuskah saya bekerja sehingga saya ditolak di mana-mana di Gramedia Majalah?

Ternyata, saya diterima di tempat lain. Satu dari 24 orang yang diterima dari sekitar 80.000 pelamar. Mendapat gaji berlipat ganda. Diterima setelah melalui tujuh proses seleksi yang meliputi psikotes dan kemampuan bahasa Inggris, presentasi dan diskusi, kompetensi, dua kali wawancara, dan kesehatan. Dan lucunya, posisi saya nanti sama (bahkan secara jabatan struktural, lebih tinggi) dengan salah satu posisi di Gramedia Majalah yang sempat ditawarkan kepada saya namun akhirnya menolak saya karena dikatakan kriteria saya tidak memenuhi syarat.

But, setiap orang punya penilaian sendiri. Gramedia Majalah mungkin punya kriteria sendiri. Entah apa. Yah, silakan saja. Bahkan, mungkin ke depannya saya dengan pekerjaan saya yang baru ini akan bekerja sama dengan Gramedia Majalah. Dengan mengedepankan koridor profesionalitas tentu saja.

Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Mas Daniel cs dari FKGM. Saya juga berterima kasih kepada rekan-rekan lain yang selama ini menaruh perhatian terhadap kasus saya. Dan, tentu saja kepada rekan-rekan Soccer yang selama ini selalu menyemangati saya dengan kata-kata “Semua akan berakhir. Kebenaran pada akhirnya akan muncul, dan kebusukan akan terkuak.”

Kepada rekan-rekan Soccer, saya ucapkan terima kasih. Namun, kalau boleh, saya ingin berkata kepada beberapa rekan Soccer, “Kebenaran pada akhirnya memang akan muncul. Namun, tidak dalam diam. Tidak dalam jiwa-jiwa yang takluk karena dicengkeram ketakutan.”

Oia, saya juga ingin berterima kasih kepada Pemred saya, Angry yang selama ini tanpa Anda sadari, telah menjadi guru bagi kesabaran saya. “Sebagai manusia, Anda terlahir suci. Karenanya, saya yakin pada dasarnya Anda sebenarnya orang baik.”

Begitulah curhat Arsa dalam sebuah blog komunitas orang-orang berkantor di Jl. Panjang, Jakarta. Lantas, bagaimana dengan Kang Jo? Semoga hasil terbaik, bisa Anda dapatkan. Amin!!

Buta Warna Jangan Jadi Wartawan?

Posted by FONDA AUGUST at 2:22 AM

Friday, June 20, 2008


Jika punya kenalan, menjadi wartawan cukup gampang. Tidak berbelit. Job Seeker tidak perlu persiapan khusus. Tinggal bikin aplikasi, lantas tanya kapan interview dan berapa kisaran gajinya. Sekarang datang, lusa bisa langsung kerja.
Tapi, jika Anda tidak punya jejaring yang luas, jangan sekali-kali berharap lebih. Perjuangan ada di pundak sendiri. Kemampuan dan pemenuhan syarat wajib dipenuhi tanpa imbal bantuan kolega. Sepintas berat memang, apalagi untuk perusahaan media massa berskala nasional.
Kadang pula, syarat-syarat yang tidak akrab di mata kita, menjadi syarat tambahan yang mau tidak mau menjadi penting bagi perusahaan pencari tenaga kerja. Seperti apa yang menjadi catatan Satrio Arismunandar, yang kini menjadi produser untuk program acara ekspedisi dan petualangan salah satu stasiun televisi. Tulisan ini dibuat setahun lalu, tapi saya pikir cukup menjadi wacana menarik bagi pelaku dunia jurnalisme.

(Dikutip dari tulisan Satrio Arismunandar, 27 Maret 2007 yang termuat di gramediamajalah-undercover.blogspot.com)

Belum lama ini saya baca iklan penerimaan wartawan baru Harian Kompas. Salah satu syarat di sebutkan disitu: "Tidak buta warna." Saya jadi bertanya-tanya, apa sih makna tak boleh buta warna di situ?
Kalau untuk jadi dokter, ahli farmasi, dsb, saya bisa paham. Ahli kimia atau farmasi yang tak bisa membedakan warna bisa membahayakan keselamatan orang, karena keliru membedakan zat kimia atau campuran obat. Untuk desainer grafis, soal buta warna jelas ada pengaruhnya. Tapi reporter?
Kenapa saya bertanya ini? Karena faktanya: saya adalah mantan wartawan Harian Kompas yang menderita buta warna. Meskipun bukan buta warna total (saya masih bisa membedakan warna lampu lalu lintas). Toh selama saya kerja di Harian Kompas (1988-1995), tidak pernah ada masalah dengan kebutawarnaan tersebut. Saya mungkin malah termasuk salah satu wartawan yang paling produktif di masa itu (bisa dicek dari ketebalan order arsip tulisan-tulisan saya).
Mungkin kriteria Kompas itu agak relevan untuk wartawan seni, yang tugasnya mengulas karya seni lukis, atau wartawan mode, yang mengulas warna busana. Namun sayang sekali, jika Kompas harus menolak calon wartawan yang potensial jagoan di bidang sosial-ekonomi atau politik, hanya karena menderita buta warna (yang bukan buta warna total pula). ***